Rinduku tersangkut di sela-sela perdu yang merimbun di pusaramu
tulisan nama di nisan itu sebagian terhapus waktu
duh ayah, lebih tigapuluh tahun hadirmu kutunggu di mimpiku
mengajak keliling kota naik vespa seperti dulu
bercerita tentang harapanmu tentang aku
dengan mata bercahaya dan wajah penuh cinta
siang ini, ayah, sunyi pekuburan mewakili sunyinya hati
tak ada air selain bening dari pipi
yang membasuh debu
di nisanmu
Lebih tigapuluh tahun kurindukan genggaman tanganmu
yang membimbing dan mengangkat tubuhku
ke sadel boncengan vespa abu-abu itu
erat tanganku berpegangan sambil terpejam bersender dipunggungmu
Begitu saja kenangan lalu lalang, menemani sebaris doa yang kubisikkan pelan
bersama titipan salam dan rindu, dari anak-anakmu di seberang
:Ayah, tak pernah usai rinduku
tak pernah putus doaku
apakah ayah juga masih ingat aku?
Jakarta, Feb 2011
Minggu, 12 Juni 2011
Kamis, 09 Juni 2011
Secukupnya
berkelana di dunia seandainya
aku terperangah, seluruh jiwa terhimpun dalam ingin yang resah
pelangi terbalik, dan aku silau oleh pijarnya
pejalan kaki berjalan mundur
orang-orang tua yang uzur menjadi muda,
menjadi bayi lalu lebur
mimpiku porak poranda
Aku ingin berlari kembali ke dunia nyata
sebagai manusia
dengan cinta secukupnya
dengan cemburu secukupnya
dengan keinginan secukupnya
Ragunan, Peb 2011
aku terperangah, seluruh jiwa terhimpun dalam ingin yang resah
pelangi terbalik, dan aku silau oleh pijarnya
pejalan kaki berjalan mundur
orang-orang tua yang uzur menjadi muda,
menjadi bayi lalu lebur
mimpiku porak poranda
Aku ingin berlari kembali ke dunia nyata
sebagai manusia
dengan cinta secukupnya
dengan cemburu secukupnya
dengan keinginan secukupnya
Ragunan, Peb 2011
Rabu, 08 Juni 2011
Catatan Kecil untuk Sang Kekasih
Bilangan detik sudah beribu, jika satuan terkecil yang kau gugu.
Seperti hal-hal kecil lainnya yang tak urung kau simak tanpa jemu.
Alisku, senyumku, bau badanku. Ah, tapi itu dulu.
Tahukah kamu, sampai kini aku tetap setia menunggu,
kendati terbersit perasaan bodoh di persimpangan rindu.
Sebab tanpa sepatah kata,
tanpa tatapan mata seperti biasa,
dan genggaman hangatmu yang getarnya sampai ke jantungku,
cinta ini tetap menggebu.
Sepi yang menyelusup di setiap sudut hati,
kuisi dengan ingatan serba pertama tentang kita
lebih dari satu dasawarsa.
Malam menjelang
Bulan melukis wajahmu
Merpati terbang
Hening
Malam sudah mati
tak ada kata-kata yang bisa merekatkan
tak ada senyum memberi penghiburan
Cinta kita seperti pecahan kristal
bercahaya tapi terpisah-pisah
berharga tapi sudah pecah
Entah, masihkah ada mimpi
dan genggaman tangan yang selalu kurindui
Entah, masihkah ada ingin
berhamburan terbawa angin
mengalir jauh sekejap rapuh
airmata jatuh, kata-kata tak lagi ampuh
Tertinggal hening
dirimu tetap tak bergeming
Misteri Pesonamu
Menulis berlembar-lembar atas rasa yang tertimbun lara
saat mentari terbit sampai tenggelam debarnya tetap setia
saat mendung dan terang wajahnya terus lekat di pelupuk mata
entah sampai kapan, tak ada tanya tuntas terjawab
mendatangi hati yang sendiri, berdiri di atas perahu takdir yang penuh misteri
membiarkan angin membelai ujung rambut nun panjang terurai
menyembunyikan airmata terburai
ah, hujan ... mengapa bulirnya meluncur helai demi helai
bukan tangan kokohnya lembut membelai
Membacanya bertahun-tahun kemudian
tak ada tulisan yang tertinggal untuk dikenang
kecuali satu, di sudut hati yang nyaris beku
: tetap merindu
Mengapa sekuat itu pesonamu?
Di Persimpangan
Merasa bodoh di persimpangan rindu
Berbincang dengan hati antara desir halus di jantungku
Terkesiap karena sikapmu yang ambigu
Salahkah bila aku meragu?
Ketika Sendiri Memenjara Hati
Seperti air mengalir dalam kerongkongan yang kerontang,
senyummu membasahi pembuluh rindu.
Entah berapa lama tersia, hingga wajahku kuyu
saat sapamu menyentuh gendang
telinga. Semburat jingga kaki langit, semburat merah muda pipimu.
Aku terkesima. Kita saling memandang dalam diam,
terjebak di rima jarum jam yang kejam.
Aku panik, bergegas merebut waktu yang layak kita nikmati.
Berdua saja, biar seisi dunia menepi.
Biar gelap memeluk kita,
yang asyik meluncur dari satu mimpi ke mimpi lainnya. Sampai pagi.
Biar pelangi yang kukantongi dari gerimis siang tadi,
menggenapi pesonamu.
Maka sempurnalah duka itu,
ketika pelukanmu terlepas,
lambaian tanganmu hilang di ujung jalan,
dan aku sendiri lagi
Bogor.2011
Kehilangan
Bulan mencumbui malam lalu malam sembunyikan bulan
kita terpisah di kegelapan, kususuri jalan berteman bayangan
hingga kunang-kunang kelelahan menari
genggaman hangatmu tak jua kembali
Di persimpangan aku menunggu
berharap senyuman kita saling bertemu
di antara wajah-wajah lalu lalang
di antara harapan yang terbawa hujan
Sudah di sepertiga malam terakhir rupanya
pantaslah hati dan rangkaian doa yang terbata
menyeruak gumpalan rindu di dada
Sudah kucoba menutup mata, menyulam mimpi berhias bintang
ah, tiba-tiba saja kurasakan
betapa pilunya kehilangan
Tentang Sepi
Melihat langit biru muda
awan menggumpal bergerak entah kemana
tiba-tiba aku ingin
pelangi muncul membelah abu-abunya
lalu aku meluncur ke ujung cakrawala
Sia-sia saja
pelangi tak kunjung menjembatani asa
Hingga aku bermimpi
Kosong
Kecuali kamu, dan lorong
Sepi tak bertepi
Sebuah Harapan
Menjejerkan sesal sepanjang jalan ditingkah rindu sesekali,
jatuh di antara jeruji hati ketika beribu malam sudah terlampaui
melati kering di atas cawan, kaca jendela dibasahi sisa hujan
tertinggal lamunan membuyarkan kesendirian
jarum jam terdengar serak, sewindu sudah tak berdetak
senyummu bertahta di atas tumpukan rindu, aku tergugu
lalu berlari, mengejar yang tak kumiliki
sampai lelah, berhenti membujuk diri
hanya angin memeluk, tubuhku kelu tanpa cumbu
hanya langit menatap, berlalu tanpa ratap
wajahku seperti orang kalah, tapi tak mengaku
Hah ... siapa rupanya yang mau?
Hening di sisa waktu dimana sepi jadi milikku
Terdamparlah aku di dunia yang miskin harapan
Lalu diam-diam menyelipkan sebaris permintaan
dalam doa yang pelan, sangat pelan
tapi kuyakin Tuhan mendengarkan
:semoga rindu itu kelak kau temukan, membimbingmu pulang bersama bulan
Suatu Hari yang Gelap
Pagi ini kenangan tentang bintang sudah hilang
orang-orang sibuk menaklukkan kota yang gelap gulita
karena cahaya yang biasanya terpancar dari hati sudah padam
Hari hari belakangan
orang-orang lebih suka berperang
melemparkan anak panah beracun yang mematikan
anak-anaknya sendiri
lalu mereka menangis
airmatanya terus mengalir, dan menguap bersama embun
membiarkan aku yang bingung
membiarkan siang memandang dengan bengis
lalu malam melengkapi kegelapannya
tanpa bulan
tanpa bintang
kecuali mimpi yang sia-sia
Ragunan, Pebruari 2011
Ruang Rindu
Apa kabarmu hari ini? pagi masih basah ketika kita bertukar sapa
di ujung kantuk jawabmu seadanya, baik-baik saja
dan aku percaya, seperti doa yang setiap hari kueja
mentari menari di sela bunga seroja
sepanjang jalan yang terbentang
kudengar selalu lirihmu bergumam
tentang rindu, tentang cinta
atau inginmu yang setinggi bulan
kugenggam tanganmu, saat mata terpejam
memelukmu erat dalam diam
sehangat dan sepanjang siang
Ketika malam, senyumanmu kusimpan
jauh di hati yang terdalam
bersama seribu harapan, pesan dan impian
jangan pernah bosan untuk datang
ke ruang yang sama, tempat rindu kita sulam
Sebuah Tanya
Ketika masih ada sapa
dan hembusan nafas menghangatkan dunia
pada musim pancaroba
kulukis di langit
seribu kenangan masa muda
berlari aku dalam rangkaian kata
sesekali berhenti endapkan rasa
menyelesaikan doa
yang kueja terbata
lirih mengingat dosa
yang menimbun tanpa sengaja
sebaris tanya mengganggu
:bila semua berakhir
dimanakah aku?
Apakah lebur, larut,
menyatu dengan rindu?
seperti hadir-Mu di kalbu
selalu, sejak dulu
Selasa, 07 Juni 2011
Jika
Jika sembilu
Terlanjur melukai
Biarkan pergi
Pengembara sendiri
Laut gemuruh
Jika hatimu
tak bisa mencinta
jangan dipaksa
Kenangan tentang subuh
Biarkan luruh
Di Ujung Cerita
Jiwaku berkeping-keping
terhempas dan terbawa angin
yang menjadikannya sesuatu
atau tertinggal debu
Duh, betapa perih
di hulu dada
hidupkan asa
di antara hiruk pikuk rasa
Dan aku termangu
sendiri
padahal masih di dekatmu, di sini
rindu tak terperi
Mengangguk tanpa daya
entah dimana logika
semua andai sudah tiada
seperti mimpi yang menguap ke angkasa
dan kita tertegun memandangnya
Dalam diam
Di ujung cerita
terhempas dan terbawa angin
yang menjadikannya sesuatu
atau tertinggal debu
Duh, betapa perih
di hulu dada
hidupkan asa
di antara hiruk pikuk rasa
Dan aku termangu
sendiri
padahal masih di dekatmu, di sini
rindu tak terperi
Mengangguk tanpa daya
entah dimana logika
semua andai sudah tiada
seperti mimpi yang menguap ke angkasa
dan kita tertegun memandangnya
Dalam diam
Di ujung cerita
Hanya Cinta
Menungguimu di ruang dingin nomor lima
ketika siang dan malam sudah tak banyak bedanya
dan angka-angka jam digital tak lebih dari sebuah penanda
helaan nafas pun terdengar riuh
bersahutan dengan suara angkutan yang kian jauh
Hanya cinta yang menahanku
menemanimu melawan sakit itu
Hanya cinta yang menguatkanku
terus berdoa saat lelap tidurmu
Hanya cinta
dan yakin pada cinta-Nya
itu saja
(Untuk Anakku Andi Fariz)
Satu Episode Cinta
Di ruang segi empat yang dingin
dengan empat saluran televisi yang gambarnya berbayang
dan kecemasan
lengkaplah sepiku
Jika tak ada cinta
entah bagaimana aku
Jika tak dikuatkan pelukanmu
entah bagaimana berdamai dengan waktu
Kini tak ada tanya atau ragu
karena semua yang indah adalah rencanaMu
bahkan ketika terlihat begitu sakit, dan tak menentu
Episode ini hampir berlalu
kecuali rinduku padamu
Kehilangan Bintang
Sepinggan kenangan
Secangkir Harapan
Kunikmati di bawah bintang
semilir rindumu berdesir
memenuhi rongga dada
seketika sepi meraja
ingatan tentang duri di tatapmu
menusuk sampai ke jantung
aku kehilangan kata
Bintang-bintang pamit
entah kemana
Entah
Sorot matamu
Lekat dalam ingatan
debar jantungku
menunggu keajaiban
di ujung penantian
Baiklah tuan ...
Sampai kapan kau biarkan
Aku terkapar dalam kesia-siaan
Apakah Rindu
Malam kelabu
di bawah langit tanpa warna
kukumpulkan sejuta tanya
tercecer di belantara kata
Apakah rindu itu masih penting,
atau hanya sebaris pesan
beraroma dusta?
matamu saga, diam seribu basa
Tiba-tiba aku ingin
kembali ke masa lalu
menemukan kita yang hangat
penuh kejutan, seperti dulu
Apakah itu rindu?
Biar Saja
Kucari di pelataran hati
kucari di sudut yang paling nisbi
nama dan kata tentangmu sudah tiada
hapus begitu saja
Mungkin aku cemburu
tapi sudah tak ada bedanya
nasi entah sudah jadi apa
sesal pun sembunyi di balik pintu
Mungkin dirimu tak punya waktu
tapi sudah tak penting bagiku
biar air mengalir sampai jauh
dan dirimu larut bersamanya
Mungkin seluruh dunia mencerca
tapi apakah mereka tahu rasanya?
ah, biarkan saja
(untuk Dina Taz Mardiana)
Ketika Aku
Aku tak akan menyalahkan malam
walau langit tanpa gemintang
Aku tak akan menyalahkan siang
walaupun terik dan menyilaukan
Aku tak akan menyalahkan hujan
walau dingin melengkapi semua kepedihan
Jika sekarang ada sakit di dada ini
dan bertambah sakit setiap detik
mempermainkan waktu
itu semua salahku
Jika dirimu ingin menyapaku
ketuk saja pintu hatiku
tiga kali
mungkin esok, ketika mendung sudah berlalu
Hanya Renungan
Pagi yang lain, di bawah langit yang kemarin
ratusan flamboyan rebah di tanah
dedaunan kering membusuk perlahan
aku hanya diam, bayangmu melintas lalu lalang
Mentari meninggi
sembunyi di balik awan
aku masih sendiri
merenungi kehidupan
Malam sebentar akan datang
meninggalkan hari, memutar kehidupan
entahlah, apakah aku bosan
di dadaku yang kosong, sesaknya nyaris tak tertahan
Lalu bulan berganti
entahlah, apakah aku masih disini
semakin tua
semakin sulit kumengerti
Pasrah
Hari berganti
gundah tak jua beranjak pergi
Bermain dengan kata
kubasuh segala lara
Berkhusyu dalam doa
kuserahkan diri pada-Nya
Cerita Lara
Sejuta kisah
sebening airmata
aku terpana
tak mengerti pangkalnya
tak menyangka ujungnya
o dunia, kejamnya ......
Cerita Kita
Setiap hari adalah cerita
dan aku bisa jadi angka, titik, koma
tanda tanya
atau bukan apa-apa
bukan siapa-siapa
bahkan tiada
dalam cerita yang tak bercerita
tentang kita
aku bisa tertawa
lupakan rindu yang berkarat
walau hanya beberapa saat
Ketika aku tamat
pada episode yang kesekian
melambaikan tangan
dari dunia yang penuh
kepura-puraan
Jangan tanyakan kapan
karena aku tak tahu
mari membaca saja, kekasihku
agar kita tak keliru
menerjemahkan jiwa
berdamai meski berbeda
sampai akhirnya
Citayam, 25 April 2011
Ketika Duka
Jika hidup adalah pilihan
entah dimana aku
jika harus tanpamu
entah bagaimana aku
Apakah harus kutanya mengapa laut bergelora
atau gemuruh di dada yang tak kunjung reda?
tidak, aku tidak perlu itu
kecuali rebah di pundakmu
dan segala tanya larut
segala duka hanyut
hari ini pun berlalu
seperti dukaku
Langganan:
Postingan (Atom)