Minggu, 12 Juni 2011

Sapa untuk Ayah

Rinduku tersangkut di sela-sela perdu yang merimbun di pusaramu
tulisan nama di nisan itu sebagian terhapus waktu

duh ayah, lebih tigapuluh tahun hadirmu kutunggu di mimpiku
mengajak keliling kota naik vespa seperti dulu
bercerita tentang harapanmu tentang aku
dengan mata bercahaya dan wajah penuh cinta

siang ini, ayah, sunyi pekuburan mewakili sunyinya hati
tak ada air selain bening dari pipi
yang membasuh debu
di nisanmu

Lebih tigapuluh tahun kurindukan genggaman tanganmu
yang membimbing dan mengangkat tubuhku
ke sadel boncengan vespa abu-abu itu
erat tanganku berpegangan sambil terpejam bersender dipunggungmu

Begitu saja kenangan lalu lalang, menemani sebaris doa yang kubisikkan pelan
bersama titipan salam dan rindu, dari anak-anakmu di seberang

:Ayah, tak pernah usai rinduku
 tak pernah putus doaku
apakah ayah juga masih ingat aku?

Jakarta, Feb 2011

Kamis, 09 Juni 2011

Secukupnya

berkelana di dunia seandainya
aku terperangah, seluruh jiwa terhimpun dalam ingin yang resah
pelangi terbalik, dan aku silau oleh pijarnya
pejalan kaki berjalan mundur
orang-orang tua yang uzur menjadi muda,
menjadi bayi lalu lebur
mimpiku porak poranda

Aku ingin berlari kembali ke dunia nyata
sebagai manusia
dengan cinta secukupnya
dengan cemburu secukupnya
dengan keinginan secukupnya

Ragunan, Peb 2011

Rabu, 08 Juni 2011

Catatan Kecil untuk Sang Kekasih

Bilangan detik sudah beribu, jika satuan terkecil yang kau gugu.
Seperti hal-hal kecil lainnya yang tak urung kau simak tanpa jemu.
Alisku, senyumku, bau badanku. Ah, tapi itu dulu.
Tahukah kamu, sampai kini aku tetap setia menunggu,
kendati terbersit perasaan bodoh di persimpangan rindu.

Sebab tanpa sepatah kata,
tanpa tatapan mata seperti biasa,
dan genggaman hangatmu yang getarnya sampai ke jantungku,
cinta ini tetap menggebu.

Sepi yang menyelusup di setiap sudut hati,
kuisi dengan ingatan serba pertama tentang kita
lebih dari satu dasawarsa. 

Malam menjelang
Bulan melukis wajahmu
Merpati terbang

Hening

Malam sudah mati
tak ada kata-kata yang bisa merekatkan 
tak ada senyum memberi penghiburan

Cinta kita seperti pecahan kristal
bercahaya tapi terpisah-pisah
berharga tapi sudah pecah

Entah, masihkah ada mimpi
dan genggaman tangan yang selalu kurindui

Entah, masihkah ada ingin
berhamburan terbawa angin
mengalir jauh sekejap rapuh
airmata jatuh, kata-kata tak lagi ampuh

Tertinggal hening
dirimu tetap tak bergeming

Misteri Pesonamu

Menulis berlembar-lembar atas rasa yang tertimbun lara 
saat mentari terbit sampai  tenggelam debarnya tetap setia
saat mendung dan terang wajahnya terus lekat di pelupuk mata
entah sampai kapan, tak ada tanya tuntas terjawab
mendatangi hati yang sendiri, berdiri di atas perahu takdir yang penuh misteri
membiarkan angin membelai ujung rambut nun panjang terurai
menyembunyikan airmata  terburai
ah, hujan ... mengapa bulirnya  meluncur helai demi helai
bukan tangan kokohnya lembut membelai

Membacanya bertahun-tahun kemudian
tak ada tulisan yang tertinggal untuk dikenang
kecuali satu, di sudut hati yang nyaris beku
: tetap merindu

Mengapa sekuat itu pesonamu?

Di Persimpangan


Merasa bodoh di persimpangan rindu
Berbincang dengan hati antara desir halus di jantungku
Terkesiap karena sikapmu yang ambigu
Salahkah bila aku meragu?

Ketika Sendiri Memenjara Hati

Seperti air mengalir dalam kerongkongan yang kerontang,
senyummu membasahi pembuluh rindu.
Entah berapa lama tersia, hingga wajahku kuyu
saat sapamu menyentuh gendang
telinga. Semburat jingga kaki langit, semburat merah muda pipimu.

Aku terkesima. Kita saling memandang dalam diam,
terjebak di rima jarum jam yang kejam.
Aku panik, bergegas merebut waktu yang layak kita nikmati.
Berdua saja, biar seisi dunia menepi.

Biar gelap memeluk kita,
yang asyik meluncur dari satu mimpi ke mimpi lainnya. Sampai pagi.
Biar pelangi yang kukantongi dari gerimis siang tadi,
menggenapi pesonamu.

Maka sempurnalah duka itu,
ketika pelukanmu terlepas,
lambaian tanganmu hilang di ujung jalan,
dan aku sendiri lagi

Bogor.2011